BIJAK ATAU MENYERAH

Posted by Lembaga Muslimah DPC Wahdah Islamiyah Bandung On Rabu, 24 Februari 2010 0 komentar
Kisah di bawah ini mengingatkanku pada hari-hari pertama aku mengenakan abaya. Sekelompok anak kecil menari-nari di sekelilingku, mengejekku “ninja kesasar…ninja kesasar…”.
*****
Malam tadi, sesuatu terjadi padaku. Aku pergi bersama suamiku dan sekelompok anak muda yang bagiku tampak seperti anggota gang melecehkan aku. Salah satu dari mereka tiba-tiba saja menghampiriku dan berteriak di telingaku seakan ia hendak menghalau seekor monster. Dalam keadaan biasa, aku tak akan terpengaruh dengan prilaku kekanak-kanakan seperti ini, tetapi kali ini setan menyelinap di hatiku.
Aku merenungi semua pengalamanku selama beberapa tahun tinggal di negeri ini. Dari sekelompok anak muda yang mencoba menabrakku sampai ejekan ninja yang selalu aku dengar setiap kali aku bepergian ke luar rumah. Kali ini, aku merasa lemah dan letih menjadi “mahluk asing”.
Saat bicara tentang kejadian ini bersama suamiku, kami mulai mencari-cari pilihan, seperti merubah warna abayaku dari warna hitam. Kami merasa mungkin itu akan membantu, Tapi setelah benar-benar memikirkannya, aku ragu itu akan membantu. Ketika aku hampir saja ditabrak, aku justru hanya mengenakan kerudung, celana jins dan baju berlengan panjang. Itu di hari-hari pertamaku sebagai muslim, ketika aku belum tahu bahwa yang aku kenakan bukanlah hijab yang sesungguhnya. Bukan pakaiannya yang jadi masalah, apalagi warnanya. Yang jadi masalah bagi mereka adalah karena penampilanku berbeda, dan aku Muslim.
Kenyataannya masyarakat sekitarku yang sangat mengagungkan indivdualitas adalah masyarakat yang paling represif yang ada di muka bumi ini. Individualitas dianggap baik dan benar sepanjang individualitas itu siring sejalan dengan apa yang dilakukan oleh individu-individu lain dalam mengekspresikan individualitas mereka. Jika semua anak muda di sekitarmu mengungkapkan pemberontakan mereka dengan menyalahgunakan obat-obatan, melakukan seks bebas, yang laki-laki memanjangkan rambut dan yang perempuan memangkasnya pendek-pendek, memakai tato, maka aksi individualistis yang dapat diterima adalah dengan melakukan hal yang sama. Tetapi jika mereka melakukan apa yang aku sebutkan tadi, maka memakai hijab karena ketaatan pada Allah dianggap menyimpang dan tidak dapat diterima.
Allah sudah mengingatkan kita bahwa non-muslim tidak akan menerima kita hingga kita menanggalkan Islam. Kita harus sama dengan mereka agar mereka mau menerima kita. Barulah mereka senang.
Allah berfirman :
“Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Dan jika engkau mengikuti kemauan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.” (2:120)
Pada mulanya aku mengira ada baiknya aku melunakkan penampilanku. Tetapi aku sadar bahwa kita terlalu sering menggunakan kata “bijak” untuk membenarkan kelemahan kita dalam beragama. Tetapi ketika kita melakukannya kita akan kehilangan keindahan sejati Islam. Kika kehilangan manisnya keyakinan. Menjadi bijak tidak berarti kita harus mengesampingkan keyakinan kita terhadap Allah hanya untuk menyenangkan orang-orang di sekitar kita.
Ibrahim abu Khalid menuliskan :
“Kata ‘bijak’ telah terlalu lama disalahartikan. Kata ini dimaksud untuk menggambarkan pendekatan terbaik kepada orang lain, bertindak dengan cara yang paling layak dengan mempertimbangkan keadaan. Kata ini tidak pernah dimaksud untuk memberikan gambaran yang keliru tentang Islam demi kesenangan personal atau komunitas. Ketika orang-orang Muslim bersedia berkompromi di berbagai sendi kehidupannya, kita akan kehilangan keberpihakan Allah, mengakui kelemahan kita kepada musuh dan kehilangan harga diri kita dalam pandangan Sang Pencipta.” [majalah Nida'ul Islam (http://www.islam.org.au), Agustus-September 1995]
Tadi malam, saat mengingat kembali kejadian hari ini, dan betapa lemahnya reaksiku akan kejadian itu, aku merasa amat malu. Apakah aku lebih baik dari Rasulullah SAW dan para sahabat beliau? Tentu saja tidak! Dan ketika aku mengingat apa-apa yang harus mereka tanggung, aku merasa malu akan ketidaksabaranku menghadapi kejadian yang amat sepele seperti hari ini. Para sahabat Rasulullah menanggung siksa, hinaan, kelaparan, dan bahkan kematian. Yang terjadi padaku hanyalah seorang pemuda tanggung berteriak di telingaku. Di mana kesabaran yang selama ini aku dengungkan, kebanggaan akan agamaku, sikap mukhalifa-ku? Jika ini adalah ujian bagiku, maka aku telah gagal total.
Semoga Allah mengampuni aku!
Sekarang apa artinya ini bagiku sebagai seorang Muslim? Aku rasa ini adalah pelajaran bagiku. Aku merasa bahwa aku harus belajar betapa mudahnya setan membuka pintu di dalam hati kita untuk membuat kita bersedia berkompromi dengan lingkungan kita. Berbagai tawarkan menggiurkan diberikan kepada Rasulullah. Beliau ditawarkan untuk memimpin kota Makkah, tetapi beliau menolaknya mentah-mentah. Beliau tidak mau tawar menawar sedikitpun aqidah Islam dengan orang-orang ini, maka tidak juga kita.
Aku tahu bahwa mengenakan warna hitam adalah sunnah. Tak ada dosa bagiku jika aku memilih warna biru atau hijau atau putih. Aku tahu bahwa mungkin akan lebih memudahkan bagiku jika aku memilih warna lain. Tetapi bisakah aku menghormati diriku sendiri seperti sedia kala jika aku membiarkan ejekan kaum kafir menakuti aku sehingga aku harus menanggalkan keyakinan akan agamaku (entah itu fardu atau sunnah)? Di hari perhitungan kelak, bisakah aku dengan jujur mengatakan kepada Allah bahwa aku siap mengorbankan bahkan nyawaku untuk membela keyakinanku terhadapNYA jika aku bahkan tidak mau berjuang menghadapi kerikil-kerikil kecil untuk membela agamaku?
Pertama kali aku memeluk Islam, ide “penyesuaian diri” dijejalkan ke dalam pikiranku. Aku disarankan untuk memodifikasi hijabku sedemikian rupa agar lebih “menyatu”. “Gunakan corak yang sedang “in”. Buatlah modifikasi agar pakaian yang kau kenakan tidak meninggalkan kesan Islami.” Begitu kata mereka. Aku lakukan apa yang mereka sarankan. Aku mempertaruhkan agamaku dengan cara tampil lebih seperti non-muslim agar mereka tidak mengintimidasiku.
Hasilnya ? Ketika beberapa teroris mengatasnamakan Islam membajak sebuah pesawat dan membunuh pilotnya, sekelompok anak muda memutuskan bahwa bayaran yang setimpal adalah membunuhku hanya karena aku Muslim sama seperti si teroris. Mereka menginjak pedal gas kuat-kuat, mengarahkan mobil kepadaku. Hanya karena perlindungan Allah aku selamat dari percobaan pembunuhan itu. Secara refleks aku melompat menghindar sementara mobil mereka membentur tiang tepat di belakang tempatku berdiri.
Saat itulah aku sadar bahwa “penyesuaian diri” sama sekali tidak ada manfaatnya. Tak perduli apa pun yang aku lakukan. Aku tetap mahluk asing, dan aku merupakan tamparan bagi semua nilai-nilai moral dan budaya mereka, jadi mereka tidak akan pernah bisa menerimaku. Lalu mengapa aku harus mempertaruhkan peluangku di surgaNYA hanya untuk membuat mereka merasa kurang terintimidasi olehku?
Selama beberapa tahun, aku membaca hadith-hadith seperti :
Dikisahkan oleh Jabir bin Abdullah : Rasulullah SAW berkata, “Saya dikaruniai lima hal yang belum pernah dikaruniakan kepada siapapun sebelum saya. 1. Allah memenangkan saya secara telak, (dengan DIA menakut-nakuti musuh saya) dalam jarak perjalanan satu bulan….” Sahih Bukhari : vol. 1, Buku 7, no. 331).
Lama aku pikirkan makna dari hadith ini. Apa bagusnya takut? Apakah kita ingin orang-orang non-muslim takut pada kita? Ketakutankah yang membuat mereka menyakiti kita di tempat-tempat seperti Bosnia dan Kosovo? Ketakutankah yang membuat mereka melecehkan kita? Mungkin. Tetapi ketakutan jualah yang membuat mereka menghormati kita ketika kita berpegang teguh pada agama kita, ketika kita tidak sudi ditawar.
Ketika agama kita kuat, kita pernah memimpin dunia. Kita berpegang teguh pada agama kita dan kita memiliki kekuatan karena Allah berada di sisi kita.
Ketika kita mulai menawar, kita kehilangan daya. Kemudian kita tertinggal hanya dengan ketakutan terhadap sekelompok orang yang lebih kuat dari kita. Kita justru kehilangan ketakutan kelompok tersebut terhadap kita, perlindungan Allah, karena kita mau ditawar.
Ibn Khaldun berkata, “Aku tahu Al Andalu akan jatuh ketika aku menyaksikan mereka menyerupai kaum kafir”. Mereka bangsa yang kuat, tetapi mereka mengorbankan kesenangan Allah terhadap mereka dan menukarnya dengan kesenangan kaum kafir terhadap mereka, dan kaum kafir menghadiahi mereka dengan tumpahan darah kaum Muslim yang mengalir di jalan-jalan bagaikan sungai. Penduduk Bosnia dan Kosovo mencoba “menyatu” dengan kaum kafir, kini harga yang harus mereka bayar dengan menjadi tetangga yang baik bagi kaum kafir adalah kehilangan rumah-rumah mereka. Allah juga memperingatkan kita apa yang akan terjadi ketika kita mulai berhenti melaksanakan ajaran agama kita, ketika kita menukar kehidupan di akhirat dengan kehidupan di dunia :
“Berbagai bangsa saling memanggil sebagaimana engkau mengundang tamu untuk makan bersama di satu piring”, mereka berkata,”Apakah jumlah kita akan sedikit di hari itu ya Rasulullah?” Beliau berkata,”Tidak. Jumlah kalian justru akan sangat banyak, bagaikan buih air laut. Dan Allah akan mengangkat rasa takut di hati mereka dan menempatkan di hati kalian al-wahn”. Mereka berkata,”Apa itu al-wahn, Ya Rasulullah?” Beliau berkata,”Kecintaan akan dunia dan kebencian akan kematian,” (Sahih : dinukil dari ceramah Sheikh Al-Albaani : www.ucl.ac.uk/~uczxisl/jihad.htm).
Aku tahu merubah warna hanyalah hal sepele. Mudah sekali bagiku merubah warna pakaianku dari hitam menjadi warna lain, tetapi Inshaa Allah, aku tak akan membiarkan mereka puas dengan cara itu.
Kapan tawaran-tawaran akan berhenti diajukan? Kapan kecintaan pada Allah melampaui kecintaan pada dunia menggerakkan kita untuk bertindak? Kapan aku berhenti bersikap pengecut dan mulai melawan? Kapan aku akan berkata,”Cukup sudah! Jalan yang aku pilih adalah jalan yang benar; ini jalan Allah dan apa yang kalian lakukan adalah salah.”?
Kapan aku akan menjadi penyeru kepada Islam -secara utuh- tanpa kompromi, tanpa pemanis, tanpa ragu? Kapan aku akan menerima bahwa apa yang diperintah Allah -entah itu fardu atau sunnah- adalah yang terbaik dan menawarnya berarti menyinggungku? Kapan aku akan berdiri tegak di hadapan iblis dan berkata, “CUKUP!”?
Ini medan tempurku. Kecil memang, aku akui. Tapi di sinilah aku menarik garis tegas. Aku tidak akan menawar apa yang aku tahu adalah yang terbaik hanya untuk menyenangkan mereka yang aku tahu keliru.
Ya Allah kumohon terimalah amalan kecil dariku ini demi ridhaMU dan berikan kami kekuatan untuk berkata CUKUP. Amiin.
Diterjemahkan (oleh sahabatku tercinta, buni) dari catatan seorang mu’alaf, Shariffa Carlo Al Andalusia.
(Ummu Wafa)

0 komentar to BIJAK ATAU MENYERAH

Posting Komentar