Secercah Sunnah di Kota nan Gerah

Posted by Lembaga Muslimah DPC Wahdah Islamiyah Bandung On Sabtu, 27 Maret 2010 0 komentar
Catatan dari blog http://bramantya.wordpress.com
Ditulis oleh Muhammad  Agung Bramantya merupakan salah satu Pengurus Dewan Pimpinan Cabang Wahdah Islamiyah (DPC WI) Jogjakarta
dresden
Pemandangan dari pinggir sungai Elbe, Dresden, Germany

Secercah Sunnah di Kota nan Gerah
catatan kecil tentang penerapan sunnah nabi pada muslimin di Dresden-Jerman
Sementara riak-riak anti-Islam dan Islamphobia di Negara Jerman masih menjalar, disudut kota Dresden terhembus angin sejuk dari segelintir kaum muslim yang tinggal di kota ini. Secara umum, data populasi muslim di Jerman adalah 3% dari total penduduk. Jumlah tersebut belum dirinci antara muslimin penduduk asli, ataukah pendatang.
Hari ini, sembari menunggu pesawat yang dioperasikan perusahaan penerbangan Lufthansa yang insya Alloh membawa saya dari Dresden Flughafen (bandara) ke Frankfurt Main Airport untuk seterusnya kembali ke tempat belajar saya di Jepang, saya ingin berbagi cerita tentang secuil fragment kehidupan muslim di kota Dresden ini.
Satu pekan sudah saya singgah di Dresden untuk menghadiri sebuah acara Seminar Internasional ERMR2008. Dan seperti layaknya seorang muslim ketika berkunjung ke suatu tempat asing, dia pasti akan mencari saudara sesama muslimnya, minimal untuk mendapatkan informasi tentang tempat, kiblat dan jadwal shalat sekaligus makanan halal.
Kembali menuju sehari yang lalu, tepatnya hari jum’at 29 Agustus 2008, dimana acara penutupan Seminar Internasional telah selesai jam 12.00. Sayapun bergegas menuju Islamiches Zentrum (Islamic Center) yang terletak di bilangan 34 Uhlandstraβe (jalan Uhland) untuk shalat Jum’at yang akan dimulai jam 13.15. Islamic center ini seakan tidak layak disebut center yang merepresentasikan Islam di Dresden. Bagaimana tidak, gedung berlantai 3 ini mirip rumah kosong tak terurus dari luarnya. Memang perkembangan Islam di sini mendapat tantangan tidak sedikit dari masyarakat dan pemerintah setempat. Menurut penuturan seorang teman, gedung sewaan ini akan segera digusur. Rencana penggusuran awal tahun 2008 ini, namun sampai sekarang belum juga ada kejelasan dari pihak berwenang, maka menggantunglah status Islamic Center tercinta ini. Hingga makin tak terurus. Kedepannya, ada dua opsi bagi muslim di sini, membeli bangunan baru (perlu uang banyak) ataukah menyewa gedung yang lain (relatif terjangkau) sembari mengumpulkan uang untuk membeli dan memiliki gedung sendiri. Denger-denger harga tanah plus bangunan 3 lantai seluas 400 m3 seharga 2 juta euro (sekitar 30 milyar rupiah). Dari tempat seminar, saya naik Tram nomer 3 pirna (jurusan) Wilder Mann dari Halte Tram bernama Numbergerplatz (dekat tempat seminar) menuju Halte Reichenbachstraβe (halte terdekat dari Islamiches Zentrum). Ongkos kereta seharga 1.8 Euro dengan waktu tempuh sekitar 10 menit. Dari halte masih jalan kaki sekitar 10 menit lagi.
IMG_0445
Islamiches Zentrum of Dresden, tampak luar 27-8-2008


IMG_0442
  satu sudut ruang shalat Islamiches Zentrum of Dresden, lumayan penuh buku-buku bermanfaat

Singkat cerita, duduklah saya di shaf kedua bersama sekitar 50an jama’ah yang lain. Yang membuat hati teduh dan tambah takjub (dalam hati) adalah rona-rona sunnah di antara para jama’ah. Jama’ah yang hampir 50% pendatang dari Semenanjung Arab, 30% lokal Jerman, 20% muslim dari non-arab dengan dhohirnya menampakkan sunnah-sunnah mulia, ajaran Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam, diantaranya adalah sbb:
Jenggot; Jubah; Tidak musbil; Jilbab syar’i; Terpisahnya ruang ikhwan dan akhwat; Mimbar dua anak tangga tanpa mihrob; Salam; Jabat tangan dan peluk silaturahim; Saling mendoakan sesama muslim ketika bertemu dan berpisah, semisal ucapan: “barokallahu fiik”; Shalat sunnah jum’at (bukan qobliyah) dua rakaat terus menerus setelah shalat tahiyatul masjid hingga imam naik mimbar; Khutbatul hajjah; Imam memerintahkan seorang jama’ah jum’at dengan shalat tahiyatul masjid secara langsung; Khutbah yang ringkas dan padat, diselipi penekanan tauhid dan mengikuti jalan para sahabat; Tiadanya ucapan amin berbarengan disetiap sela kalimat doa sang khotib; Bacaan imam dengan surah al a’la di rakaat pertama dan al ghosiyah di rakaat kedua; Saling meluruskan shaf (walau tanpa garis shaf) sembari menempelkan pundak dan tumit kaki di antara ma’mum; Tiada jabat tangan kanan-kiri-depan-belakang seketika selepas shalat; Shalat sunnah ba’diya jum’at.
Tentu saja daftar perilaku diatas tidak semua 100% jama’ah jum’at saat itu menjalankannya, ada juga yang masih ngobrol saat khutbah dan perilaku tidak nyunnah lainnya. Namun demikian hal tersebut menjadi catatan kecil tentang secercah sunnah di kota nan gerah yang dapat saya rekam.
Akhirnya, rangkaian ibadah shalat jum’at siang itu di kota Dresden berakhir. Sementara mendung diluar sana masih menggantung dan semilir angin sejuk akhir musim panas bertiup menyelinap diantara celah jendela Islamiches Zentrum lantai dua. Dan saya pun masih duduk bersandarkan tembok, memandangi saudara-saudara seiman di Jerman saling berpisah sembari mengucap kata-kata yang tidak dapat saya pahami.
Bagian akhir tulisan ini dibuat di atas pesawat Boeing 747-400 satu jam sebelum landing di bandara udara Narita, Jepang, sehabis sarapan telur, kentang, roti, buah dan secangkir kopi, di ketinggian 30.000 ft dengan kecepatan jelajah 987 km/jam dan suhu diluar minus 43 derajat celcius.
- – - – -
Bramantya, 31 Agustus 2008
Salam hangat tuk Mas Imron dan keluarga di Dresden, Arif, Bhakti, Fajar dan lainnya.
Juga istriku yang barusan mendapat ujian dari “school of live”…
ermr1
suasana seminar ERMR 2008

0 komentar to Secercah Sunnah di Kota nan Gerah

Posting Komentar