Inilah Salafi Sejati (Berdasarkan Fatwa Lajnah Daimah)

Posted by Lembaga Muslimah DPC Wahdah Islamiyah Bandung On Senin, 05 Juli 2010 0 komentar
Ada di antara para da’i (ustadz) dan thalibul ‘ilmi (santri) pada hari ini yang menyangka bahwa dengan mengaku atau membubuhi namanya dengan kata salafi dia sudah termasuk bagian dari salafiyyin. Bahkan yang lebih memprihatinkan mengira kalau dirinya menjadi ukuran bagi kesalafan orang lain. Nilai seseorang tidak diukur dengan pengakuan, namun dengan kenyataan dan perilaku dan sepak terjang serta bagian yang diperankan. Jadi banyak orang yang masih sebatas pengakuan, bukan sampai pada tingkat kenyataan. Yang lebih ironis, justru orang-orang yang menapaki jalan salafus shalih malah tidak selamat dari mereka. Dan sesungguhnya, perkara yang merupakan kekurangan mereka pada hari ini adalah adab, akhlak yang mulia, hati yang tulus dan baik sangka. Allah merahmati orang yang mau muhasabah terhadap dirinya. Semoga Allah menjadikan kita sebagai golongan yang selamat. Aamiin.
Lajnah Daimah (Komite tetap) untuk riset ilmiah dan fatwa telah melihat surat yang masuk kepada yang mulia Mufti ‘Amm Fadhilatus Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz yang berasal dari seorang peminta fatwa, yaitu Muhammad bin Hasan Alu Dzubyan, yang dialihkan oleh sekjen Haiat Kibar Ulama –yang bernomor 3134, tertanggal 7 Rajab 1414 H- kepada Lajnah Daimah.
Penanya meminta fatwa dengan pertanyaan sebagai berikut:
“Kami mendengar dan mendapati orang-orang yang mengaku bahwa mereka adalah bagian dari salafiyah, sementara kesibukan mereka adalah mencela para ulama, serta menuduh mereka sebagai ahli bid’ah. Seakan-akan lisan-lisan mereka tidaklah diciptakan kecuali hanya untuk sikap seperti ini. Mereka berkata: “Kami adalah salafi”. Pertanyannya adalah -mudah-mudahan Allah Subhanahu waTa’ala senantiasa menjaga Anda-: “Apakah sebenarnya maksud dari salafiyah yang sesungguhnya itu? Dan bagaimana sikap salafiyah terhadap kelompok-kelompok Islam yang ada sekarang ini? Mudah-mudahan Allah membalas anda, kami dan segenap kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan. Sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar do’a.”
Setelah Lajnah Daimah yang diketuai oleh yang mulia Syaikh bin Baz mempelajari pertanyaan tersebut, Lajnah menjawab:
“Jika keadaannya memang seperti apa yang telah disebutkan, maka sesungguhnya mencela para ulama, dan melemparkan (tuduhan) kebid’ahan terhadap mereka serta menuduh-nuduh mereka adalah cara yang membinasakan, bukan termasuk cara salaf yang terbaik dari umat ini. Sesungguhnya kesungguhan salafus shalih adalah berdakwah kepada al-Kitab dan as-Sunnah, dan berdakwah kepada apa-apa yang didakwahkan para sahabat radhiyallahu ’anhu dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik dengan ihsan (berbuat baik), dengan penuh hikmah, mauizhah (nasihat) yang baik, serta berdebat dengan cara yang baik pula. Dengan disertai oleh kesungguhan jiwa untuk mengamalkan apa yang mereka dakwahkan kepada setiap hamba. Serta dengan konsisten memegang teguh apa yang telah diketahui secara pasti dari agama Islam, yang berupa ajakan untuk bersatu, saling tolong menolong di atas kebaikan, menyatukan kalimat kaum muslimin di atas kebenaran, menjauh dari perpecahan dan sebab-sebabnya yang berupa saling curiga, saling benci dan saling hasud, serta menahan diri dari ketergelinciran di dalam kehormatan kaum muslimin serta melemparkan anggapan dusta dan sebab-sebab semacamnya yang menimbulkan perpecahan kaum muslimin serta menjadikan mereka berkelompok-kelompok yang sebagiannya melaknat sebagian yang lain, dan sebagiannya memerangi sebagian yang lain. Allah berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran: 103)
Dan telah valid dari Nabi bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian kembali kufur setelah aku, sebagian kalian memukul leher sebagian yang lain.” (HR Bukhari Muslim)
Ayat ayat dan hadits Nabi yang mencela perpecahan beserta sebab sebabnya sangatlah banyak.
Oleh karena itulah, melindungi kehormatan kaum muslimin dan menjaganya adalah termasuk sesuatu yang secara pasti diketahui sebagai bagian dari Islam. Maka melanggarnya, dan menjerumuskan diri di dalamnya diharamkan. Keharaman tersebut semakin menjadi keras saat yang dijerumuskan adalah para ulama, dan orang yang manfaatnya besar bagi kaum muslimin. Hal ini berdasarkan nash-nash dua wahyu yang mulia yang telah mengagungkan kedudukan mereka. Diantaranya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebut mereka sebagai saksi atas ketauhidan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)
Menjerumuskan diri berbicara tentang para ulama tanpa hak, dengan membid’ahkan mereka, menfasiqkan, mendiskriditkan, dan merendahkan mereka adalah termasuk kezhaliman dan dosa yang teragung, dan itu termasuk di antara sebab-sebab fitnah, menghalangi kaum muslimin dari mengambil ilmu mereka yang bermanfaat, juga menghalangi mereka dari mengambil kebaikan serta petunjuk yang mereka bawa.
lni akan mendatangkan bahaya besar terhadap penyebaran syariat yang suci, karena jika pembawa syariat ini dicela, maka itu akan berpengaruh kepada apa yang dia bawa.
Maka pada sikap seperti ini terdapat penyerupaan dengan cara ahlul bid’ah yang terjerumus pada pembicaraan buruk tentang para sahabat. Sementara para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah saksi nabi umat ini atas syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah beliau sampaikan. Maka jika yang bersaksi disakiti (dinodai), berarti yang disaksikanpun juga disakiti (dinodai).
Maka yang wajib atas setiap itu adalah konsisten dengan adab-adab Islam, petunjuk dan syariatnya. Hendaknya dia menahan lisannya dari perkataan keji dan menjerumuskan diri dalam membicarakan kehormatan para ulama, bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari perbuatan tersebut, serta membersihkan diri dari berbuat zhalim kepada para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Akan tetapi jika sebuah kesalahan terjadi pada diri seorang ‘alim, maka kesalahan tersebut tidaklah menghabiskan ilmu yang dimilikinya. Yang wajib pada saat mengetahui kesalahan adalah kembali kepada ahli ilmu yang diakui kapasitas keilmuan, agama dan keshahihan i’tiqadnya. Hendaknya seseorang tidak memasrahkan dirinya kepada setiap orang yang menghembuskan dan menjalankan (fitnah) hingga menuntunnya kepada kehancuran dari arah yang tidak disadarinya. Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa aalihi wa shahbihi wasallam. (AR) [*]
Pada kasus yang sejenis, yang mulia Syaikh lbn Bazz berkata:
“Yang saya nasehatkan kepada mereka, saudara-saudara yang membicarakan kehormatan para da’i dan menzhaliminya agar mereka bertaubat kepada Allah dan apa yang mereka tulis atau mereka ucapkan, dan hal-hal yang menyebabkan rusaknya hati sebagian pemuda, dan mengisi mereka dengan rasa benci dan dengki, menyibukkan mereka dari mencari ilmu yang bermanfaat, dari dakwah kepada Allah dengan katanya dan katanya, dan pembicaraan tentang fulan dan fulan, serta mencari-cari apa yang mereka anggap sebagai kesalahan bagi orang lain, menjaring dan memaksa-maksa.

Sebagaimana saya nasehatkan agar menebus apa yang telah mereka lakukan dengan tulisan atau lainnya yang dapat membuat diri mereka terbebas dari perbuatan ini dan menghapus dari benak orang-orang yang pernah mendengarkan ucapan mereka dan hendaknya menghadap fokus pada amal-amal yang produktif yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat bagi para hamba. Hendaklah mereka takut untuk tergesa-gesa dalam menyebut vonis kafir atau fasiq atau bid’ah tanpa bukti nyata dan hujjah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Barang siapa mengatakan kepada saudaranya: Wahai kafir maka kalimat itu pasti kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Bukhari-Muslim)
(Dipublikasikan di harian al-Syaral-Ausath, Sabtu: 22/6/1412) (AH).
Sumber : Rubrik Cahaya Hati, Majalah Qiblati edisi 11/III, Rajab-Sya’ban 1429 H/wimakassar.org

0 komentar to Inilah Salafi Sejati (Berdasarkan Fatwa Lajnah Daimah)

Posting Komentar