Belajar Dari Para Pembelot Umat

Posted by Lembaga Muslimah DPC Wahdah Islamiyah Bandung On Kamis, 22 April 2010 0 komentar
Begitu banyak makar musuh-musuh Islam untuk memadamkan cahaya umat ini, entah itu datang dari non Muslim maupun dari kalangan Muslim sendiri. Upaya mereka tidak pernah main-main, menempuh berbagai cara hingga menyentuh grass root, akar rumput kaum Muslimin.

Belum lama ini dunia Islam digemparkan dengan memoar pengakuan seorang pemuda Palestina. Sang pemuda membuat pengakuan yang sungguh mengejutkan, ia mengungkapkan pernah menjadi agen rahasia Shin Beth (dinas intelijen Israel) selama satu dekade. Beritanya akan ‘biasa’ saja jika yang membuat pengakuan adalah seorang pemuda biasa, namun ceritanya menjadi lain ketika pemuda itu ternyata adalah putra Syeikh Hassan Yusuf, salah seorang pemimpin senior organisasi perjuangan Palestina, Hamas.

Mus’ab Hassan Yusuf, pemuda berusia 32 tahun itu mengaku telah murtad dari agama Islam pada tahun 2005 lalu kemudian memeluk agama Kristen. Bahkan jauh sebelum  itu, ia mengaku kalau dirinya telah berperan sebagai agen rahasia Israel selama 10 tahun. Di saat sang ayah masih mendekam di penjara Israel, kisah pengkhianatannya itu ia beberkan dalam bukunya Son of Hamas yang diterbitkan di Amerika Serikat.

Episode pengkhianatan turut mewarnai perjalanan panjang umat ini. Dimasa Rasulullah, kita mengenal gembong munafikin yang bernama Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia merupakan tokoh pengkhianat pasca hijrah Rasulullah ke Madinah. Ia yang sebelumnya adalah figur yang diproyeksikan sebagai pemimpin Madinah harus rela tergantikan oleh Rasulullah. Meski ia tampak tetap bersama dengan barisan kaum Muslimin, namun di hati ia sangat membencinya. Maka mulailah dijalankan taktik pengkhianatan. Ia melakukan pembelotan terhadap pasukan yang akan berangkat ke perang Uhud yang dengannya ia berharap pasukan muslim kalah dan Rasulullah terbunuh, dan dengan sendirinya ia akan langsung menjadi pemimpin di Madinah. Namun betapa kecewanya ia ketika melihat Rasulullah kembali dengan selamat.

Lalu kisah serupa terjadi pada tahun 656 H. Kota Baghdad yang pada saat itu merupakan ibukota Khilafah Abbasiyyah, pusat peradaban dunia dan ilmu harus menguburkan seluruh kebesarannya.  Pasukan Mongolia pada saat itu di bawah pimpinan Hulaghu Khan masuk memporak-porandakan kota Baghdad. Tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan, tidak mengenal belas kasihan. Selama seminggu kota Baghdad dihancurkan dari segala penjurunya. Masjid-masjid, istana, gedung, dan perpustakaan diruntuhkan, buku-buku ulama dibakar.  Tak tersisa dari penduduk Baghdad kecuali akan dibunuh. Wanita dan anak-anak pun tidak luput dari ayunan pedang bangsa Mongolia, tidak terkecuali Khalifah al-Mu’tashim Billah beserta keluarganya juga harus menemui akhir hayatnya. Sungai Dajlah menjadi saksi sejarah kelam itu, selama tiga hari air sungai Dajlah memerah karena darah kaum Muslimin.

Kekhalifahan Abbasiyah yang terkenal kuat itu tidak semestinya runtuh dengan begitu sederhana. Kecuali karena munculnya pengkhianat besar di tubuh kekhilafahan. Muayyaduddin Ibnul ‘Alqami, seorang perdana menteri di kekhalifan yang berpaham Syi’ah menjalin hubungan haram dengan Mongolia untuk kehancurkan kaum Muslimin.

Sejarah terus mengulang kisah ini. Pada saat Andalusia menyerah di tangan negara-negara Kristen, tersisa satu kota yang bernama Granada, sangat kuat bertahan, dan terus berkembang. Akan tetapi, tidak beda jauh dengan kisah Baghdad, Granada pun menyerah karena pengkhianatan dalam tubuh kaum Muslimin. Mereka adalah pemimpin kaum muslimin sekaligus pengkhianat umat. Ketiga nama yang diabadikan sejarah sebagai pengkhianat peradaban. Dua orang menteri: Yusuf bin Kamasyah dan Abul Qasim al-Malih, serta satu tokoh agama: al-Baqini. Raja Fernando III dan Ratu Isabella mengumumkan akhir dari kekuasaan Muslim di Eropa Selatan.

Hidayah taufik adalah hak Allah
Deretan kisah itu mengajarkan kepada akan benarnya firman Allah yang menyatakan bahwa urusan hidayah dan menyesatkan adalah hak prerogatif Allah, sepenuhnya berada di dalam genggaman Allah. Ketika  Allah menghendaki memberi hidayah kepada seseorang maka tak seorangpun yang mampu menyesatkannya dari jalan lurus yang Allah taqdirkan terbentang untuknya. Sebaliknya, bila Allah telah menyesatkan seseorang, maka tak seorangpun dapat memberinya hidayah.
”Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka baginya tak ada seorang pun yang akan memberi petunjuk.” (QS Ar-Ra’d ayat 33)

Perkara hidayah dan iman bukanlah warisan. Tidak seorangpun yang bisa menjamin bahwa seorang yang tumbuh dari keluarga dan lingkungan orang  beriman, pastilah dianya beriman pula. Hal ini terjadi pada keluarga seorang  Nabi Allah, Nabi Nuh ’alaihis-salam.

”Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang". Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.”(QS Hud ayat 42-43)

Menyaksikan bahwa anaknya binasa ditelan banjir, maka sebagai seorang ayah iapun berdoa kepada Allah:”Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya."(QS Hud ayat 45)

Nabi Nuh tahu betul pelanggaran besar yang telah dilakukan anaknya hingga ia harus mati dalam kekafiran, namun naluri sebagai seorang ayah memintanya untuk mengharapkan pengampunan dari Allah sambil terus mentebut bahwa ia adalah anaknya, bagian dari keluarganya. Tetapi Allah menjawab do’a Nuh dengan tegas."Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan."(QS Hud ayat 46)

Ya, kita hanyalah mampu untuk menunjukkan jalan-jalan hidayah itu selebar dan seterang mungkin, selebihnya berada di bawah kehendakNya, Firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. Al Qashash: 56)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Allah berfirman kepada Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam, 'sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai.' Maksudnya: itu bukan urusanmu. Tetapi, kewajibanmu hanya menyampaikan dan Allah akan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dia yang memiliki hikmah yang mendalam dan argumentasi yang kuat, sebagaimana firman Allah: "Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya." (QS. Al Baqarah: 272)

Musuh Umat Itu Bernama Pengkhianatan
Dari kisah-kisah ini juga kita diajarkan oleh sejarah, betapa kejamnya pengkhianatan itu. Hal ini mengingatkan kita kembali pada kisah Nabi Musa dan Bani Israel. Betapa pengorbanan dan cinta Nabi Musa kepada kaum ini. Hingga ia rela mengorbankan nyawanya sekalipun. Tetapi apa yang telah dilakukan kaum ini terhadap orang yang telah menyelamatkan mereka dari kekejaman Fir’aun? Apakah dengan semua itu lantas mereka beriman kepada Allah? Ternyata tidak. Mereka melakukan pengkhianatan, tidak hanya terhadap Nabi Musa tetapi juga terhadap Allah.

“Dan kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut itu (Bagian utara dari laut merah). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap penyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (Berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)” Musa menjawab, “Sungguh kamu orang-orang yang bodoh” (QS. Al-A’Raaf: 138)

Episode itu selalu muncul dalam setiap zaman dengan tokohnya masing-masing. Terus menjadi senjata pamungkas orang kafir terhadap umat Islam.


Allah mengingatkan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap pengkhianat dan kufur.” (Qs. Al-Hajj: 38)
Allah menyebut khawwan (para pengkhianat) lebih dahulu sebelum kufur. Dan begitulah ia adanya. Para pengkhianat umat menjadi awal untuk kehancuran kaum Muslimin, untuk kemudian dipersembahkan kepada tangan-tangan orang kafir.

Abdullah bin Ubay bin Salul, Ibnul ‘Alqami, Yusuf bin Kamasyah, Abul Qasim al-Malih, al-Baqini, dan Mus’ab beserta para penerusnya, adalah mereka yang  rela menjual umat, menggadaikan negeri, dan melumuri tangannya dengan darah kaum Muslimin. Mereka telah memilih menghitamkan narasi sejarahnya, diabadikan hingga hari akhir nanti dan tak akan dapat terhapus lagi. Ya Muqallibal qulub, tsabbit qulubana ‘ala dienika, Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas agamaMu.[Marzuki Umar]
(Buletin Al Balagh Edisi 010/R.Tsani/9 April 2010)

0 komentar to Belajar Dari Para Pembelot Umat

Posting Komentar