Jilbab Menjagaku dari Makanan Haram

Posted by Lembaga Muslimah DPC Wahdah Islamiyah Bandung On Rabu, 17 Maret 2010 0 komentar

Oleh Mira Kania Dewi
Seorang ibu, sebut saja namanya Bu Nur berada di kawasan Changi Airport Singapura untuk terbang menuju Jakarta. Sambil menunggu keberangkatan pesawat yang masih cukup lama, perut yang sudah keroncongan memaksanya mencari makanan untuk sekedar pengganjal perut.
 Tak jauh dari tempatnya berdiri, Bu Nur melirik sebuah toko kue yang memajang rapi keu-kuenya. Ah, kayaknya kue di sini aman dimakan, gumamnya dalam hati. Tak ada tanda halal tertera di depan toko namun tak ditemukannya menu daging-dagingan seperti roti berisi ayam, sapi, apalagi babi yang dijual di toko itu. Lagipula masyarakat muslim di Singapura cukup banyak jumlahnya tentu keberadaan makanan halal jadi pertimbangan tersendiri bagi pemerintah setempat, tambahnya meyakini diri sendiri. Maklumlah Bu Nur cukup sering bolak-balik ke negeri merlion ini sehingga sedikit banyak tahu keadaan di Singapura. Ia pun segera menghampiri etalase dan menunjuk sebuah kue yang terlihat enak kepada pramuniaga yang bermata sipit. Tak disangka, pramuniaga itu berkata,”Sorry ma’am you can’t eat that cake ‘cos it contains alcohol.” (ma’af bu, anda tidak dapat memakan kue itu karena mengandung alcohol) Ups! Dugaanku salah rupanya, pikir Bu Nur dalam hati. ”Thank you for telling me (terima kasih karena telah memberitahuku)”, balas Bu Nur kepada pramuniaga tadi.
Akhirnya ia melanjutkan langkahnya ke ruang tunggu dengan perut yang masih berbunyi nyaring. Rasa lapar tak terlalu dihiraukannya lagi. Pikirannya lebih disibukkan dengan ucapan pramuniaga tadi. Apakah ia seorang muslim? Ataukah di Singapura ada peraturan yang mewajibkan seorang penjual makanan harus paham masalah halal/haram? Ah, tak tahu lah yang penting pramuniaga tadi telah berjasa memberitahu keberadaan makanan yang semula akan dibelinya sehingga barang haram itu batal masuk ke dalam mulutnya. Alhamdulillah Yaa Rabb, Kau masih menyelamatkan aku, ucap Bu Nur perlahan.

Peristiwa serupa kembali terjadi selang beberapa bulan kemudian saat Bu Nur mengunjungi salah satu mall besar di bilangan Jakarta. Saat melewati sebuah toko kue, lagi-lagi Bu Nur tergiur dengan sebuah kue tart yang cantik bentuk dan warnanya. Enak banget sepertinya kue ini, pikir Bu Nur. Tanpa ragu Bu Nur menghampiri pramuniaga yang sedang berdiri di dekat etalase toko seraya menunjuk kue tart yang ia inginkan sekaligus menanyakan harganya. Dengan sopan pramuniaga yang tadi mematung berkata kepadanya, “Ma’af, ibu tidak bisa membeli kue tart ini karena mengandung alkohol”. Dug, ia kaget mendengar jawaban itu. Sambil melongo Bu Nur pun berucap,” Ooh begitu, terima kasih ya Mbak sudah memberi tahu saya”. Perkataan seperti itu rasanya tak asing lagi bagi Bu Nur. Sesaat kemudian pikirannya kembali melayang mengingat kejadian beberapa waktu silam saat ia berada di Changi Airport. Bu Nur berlalu melewati toko itu sambil terbengong-bengong keheranan dengan apa yang baru saja ia alami. Tak menyangka bahwa masih ada orang yang berani menjajakan makanan yang tidak halal di daerah yang penduduknya mayoritas muslim tanpa ada peringatan atau pemberitahuan secara tertulis. Atau justru Bu Nur-kah yang terlalu ceroboh dan naif dengan menganggap aman makanan yang ada di tanah air sendiri? Alhamdulillah, lagi-lagi Bu Nur mengucap syukur kepada Zat Yang Maha Pengatur karena pramuniaga tadi telah diberikan keberanian untuk berterus terang tentang keadaan barang dagangannya sehingga ia pun terjauh dari makanan yang haram. Seandainya pemilik toko mengetahui apa yang dilakukan oleh pegawainya, boleh jadi pramuniaga tadi akan dimarahi oleh boss-nya bahkan mungkin saja dipecat karena dagangannya batal dibeli orang.
Kadang urusan memilih makanan ini terlihat sepele namun ternyata kehalalan dan kethoyibannya termasuk sebuah perkara yang sangat penting bagi umat Islam. Tentu ianya berpengaruh dengan daging yang tumbuh dalam diri kita. Mungkin akan lain lagi ceritanya jika yang membeli kue tadi adalah anak laki-lakinya yang senang memakai kaos dan celana jeans. Setelah merunut-runut dua kejadian itu, Bu Nur tersadar bahwa pramuniaga yang bekerja di dua toko kue tadi, pada waktu dan tempat yang berbeda itu, kedua-duanya tidak serta merta tahu keislamannya jika bukan terlihat dari penampakan luar. Oh, rupanya jilbab yang dikenakannya menunjukkan identitas diri Bu Nur sebagai seorang muslimah. Ya, ternyata jilbab turut menjaga seseorang dalam berbagai masalah kehidupan termasuk menyangkut urusan makanan.
Syukurlah fenomena mengenakan jilbab sudah mulai menjamur dan tidak asing lagi bagi masyarakat kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Berbagai model dan warna jilbab yang dipadukan dengan aneka baju muslimah yang cantik mudah ditemukan di banyak toko dan butik. Pun sudah banyak perancang busana terkenal yang ikut andil memperkaya ragam jilbab dan baju muslim/ah di tanah air kita. Bahkan tak sedikit pula yang sudah berhasil diekspor ke negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunai.
Seyogyanya tak hanya penampakan luar yang harus diperhatikan, penampakan dalam seperti akhlak, budi pekerti, ucapan dan perilaku yang islami tak kalah pentingnya dalam mempercantik pribadi seseorang.
Semua itu adalah pilihan. Manusia diberikan akal untuk menentukan sebuah pilihan dan setiap pilihan (apapun bentuknya) pasti ada konsekuensinya. Semoga kita selalu dimudahkan dalam mengambil sebuah pilihan. Tentunya satu pilihan untuk dua tujuan, yaitu dunia dan akherat, aamiin.

Sumber: http://eramuslim.com

0 komentar to Jilbab Menjagaku dari Makanan Haram

Posting Komentar