Bentuk-bentuk pengagungan kepada kuburan
a. Membuat bangunan di atasnya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang umatnya untuk membuat bangunan di atas kuburan. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan untuk meratakannya. Dalam riwayat al-Imam Muslim—rahimahullah—dari Abu Hayyaj al-Asadi—rahimahullah, ia berkata, “Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu berkata kepadaku,
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Maukah engkau aku utus kepada sesuatu yang Rasulullah telah mengutusku padanya? Jangan Kamu biarkan patung kecuali kamu hancurkan, dan kuburan yang menonjol lebih tinggi melainkan kamu ratakan.” b. Berdoa kepada Penghuni Kubur
Doa adalah ibadah, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabda beliau, dari shahabat Abu Abdullah an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘Anhu,
الدُّعاَءُ هُوَ الْعِباَدَةُ
“Doa adalah ibadah.” (HR. Tirmidzi)Karena doa adalah ibadah, maka harus memenuhi dua persyaratan:
Pertama: Mempersembahkan doa tersebut hanya bagi Allah Subhaanahu Wata’ala.
Kedua: Sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Apakah berdoa di kuburan telah memenuhi kedua syarat itu? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengetahui bentuk-bentuk doa di kuburan.
Berdoa Kepada Allah Subhaanahu Wata’ala di Kuburan
Berdoa kepada Allah Subhaanahu Wata’ala di kuburan merupakan perbuatan yang banyak dilakukan oleh para pengagung kuburan. Hal ini mereka lakukan disertai keyakinan tertentu, seperti bahwa tempat tersebut memiliki berkah, terlebih jika itu adalah kuburan para nabi dan wali. Dan berkeyakinan akan mendatangkan kekhusyukan dan lebih cepat untuk dikabulkan. Kepercayaan-kepercayaan seperti ini telah mengundang banyak kaum muslimin untuk berdoa di sisi kuburan.
Tentu, perbuatan ini adalah bid’ah karena mengkhususkan tempat peribadatan yang tidak pernah ditentukan oleh syariat. Begitu juga para shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tidak pernah melakukan hal demikian di sisi kubur imam para nabi dan rasul, yaitu kuburan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)
Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. al Maidah: 3).
Al-Imam Malik—rahimahullah—menyatakan, “Barangsiapa yang mengada-ada di dalam Islam sebuah kebid’ahan dan dia menganggap hal itu sebagai sebuah kebaikan maka sungguh dia telah menuduh bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan risalah.
Karena Allah Subhaanahu Wata’ala mengatakan, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian,” maka segala sesuatu yang di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bukan bagian dari agama, maka pada hari ini juga bukan sebagai agama.”
Berbeda dengan berdoa untuk orang yang meninggal, maka perbuatan ini ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Berdoa Kepada Allah Subhaanahu Wata’ala dengan Perantara Penghuni Kuburan
Hal ini dinamakan tawassul. Tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan segala apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Para ulama telah membagi tawassul dalam dua bentuk dan kedua bentuk tersebut memiliki bagian-bagian yang banyak.
Pertama: Tawassul yang disyariatkan.
Kedua: Tawassul yang tidak disyariatkan.
Tawassul yang disyariatkan jelas nash-nash di dalam Al-Quran seperti firman Allah Subhaanahu Wata’ala, artinya,
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapatkan keberuntungan.” (QS. al-Maidah: 35).
Lalu bertawassul dengan orang yang meninggal termasuk dalam bagian yang mana?
Untuk menjawab pertanyaan ini harus ditinjau dari beberapa sisi.
Pertama: Segala akibat ada sebabnya. Yang menciptakan dan menentukan sebab akibat adalah Allah Subhaanahu Wata’ala. Menjadikan suatu sebab yang tidak dijadikan sebab oleh Allah Subhaanahu Wata’ala di dalam syariat termasuk syirik kecil. Menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai sebab dan perantara yang akan menyampaikan kepada Allah Subhaanahu Wata'ala termasuk di dalam bab ini. Berdasarkan sisi ini berarti perbuatan tawassul dengan orang yang telah mati termasuk dari syirik kecil.
Kedua: Jika perbuatan ini benar, niscaya tidak akan diabaikan oleh para shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada kuburan imam para rasul yaitu Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mereka tentu akan berlomba-lomba untuk melakukannya, dan tentu akan teriwayatkan dari mereka setelah itu. Berdasarkan sisi ini, jelas bahwa perbuatan ini diada-adakan dalam agama, termasuk perkara baru dan merupakan satu kebid’ahan.
Berdoa Kepada Penghuni Kuburan
Perbuatan ini termasuk dari syirik besar kepada Allah Subhaanahu Wata’ala dan pelakunya mendapat ancaman yang pedih dari Allah Subhaanahu Wata’ala. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya,
“Dan bahwa masjid-masjid itu milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada seorang pun bersama Allah.”
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di—rahimahullah—berkata ketika menerangkan ayat ini, “Tidak doa ibadah atau pun doa masalah, karena masjid-masjid yang merupakan tempat yang paling mulia untuk beribadah harus dibangun di atas keikhlasan kepada Allah Subhaanahu Wata’ala. Ketundukan kepada keagungan-Nya dan tenteram dengan kemuliaan-Nya.”
Di antara ancaman-ancaman yang pedih itu ialah firman Allah Subhaanahu Wata’ala,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisa: 48).
“Dan jika mereka menyekutukan Allah niscaya akan terlepas dari mereka apa-apa yang mereka telah kerjakan.” (QS. al-An’am: 88).
Rasulullah Subhaanahu Wata’ala bersabda,“Barangsiapa berjumpa dengan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dia akan masuk ke dalam surga, dan barangsiapa berjumpa dengan-Nya dalam keadaan menyekutukan Allah, dia masuk ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
c. Ziarah Kubur
Apakah ziarah kubur dianjurkan secara mutlak atau dilarang secara mutlak?
Jawabnya: Hukum ziarah kubur dibagi oleh para ulama menjadi tiga bentuk:
1. Ziarah yang disyariatkan
Ziarah yang disyariatkan oleh Islam dan terpenuhi tiga syarat padanya:
Pertama: Tidak mengadakan safar untuk berziarah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Jangan kalian bepergian kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini Masjid Al-Haram dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua: Tidak mengucapkan kalimat-kalimat batil. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Dulu kami telah melarang kalian menziarahi kubur. Barangsiapa ingin menziarahi kubur lakukanlah dan jangan mengucapkan hajran.” (HR. Ahmad)
Al Hajr adalah ucapan keji.Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi mengatakan, “Lihatlah—semoga Allah merahmatimu—bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang dari kalimat-kalimat yang keji dan batil ketika berziarah ke kuburan. Lalu apakah ada ucapan yang lebih besar kekejian dan kebatilannya daripada menyeru kepada orang-orang yang telah mati dan meminta tolong dibebaskan dari malapetaka kepada selain Allah?”
Ketiga: Tidak dikhususkan dengan waktu-waktu tertentu karena tidak ada dalil pengkhususan yang demikian itu.
2. Ziarah Bid’ah
Ziarah yang tidak ada salah satu dari syarat-syarat di atas.
3. Ziarah Syirik
Ziarah yang menjatuhkan pelakunya ke dalam kesyirikan, seperti berdoa kepada penghuni kubur, menyembelih, bernadzar, dan meminta pertolongan dan perlindungan, dan sebagainya.
Dari pembagian ketiga jenis ini bisa kita ukur dan nilai, termasuk kategori mana ziarah yang dilakukan mayoritas muslimin di makam-makam terkenal di seluruh pelosok tanah air ini.
Ziarah ini telah menjadi rutinitas kalangan tertentu meski dengan hajat yang berbeda. Sehingga tidak ada satu kuburan pun yang terkenal dan memiliki nilai sejarah dalam kehidupan nenek moyang kecuali tiap waktu dibanjiri oleh para peziarah. Seakan-akan ia telah menjadi Baitullah Al-Haram di tanah suci Makkah.
Ini adalah sebagian kecil dari bentuk pengagungan terhadap kuburan. Semoga Allah Subhaanahu Wata'ala memelihara kita dari penyembahan kepada selain-Nya.
Wallahu Waliyyut Taufiq (Al Fikrah No. 11 Tahun XI/8 Jumadil Ula 1431 H)
www.wahdah.or.id
0 komentar to Ketika Kuburan Diagungkan